Jakarta, Journalnasional.com— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa sejumlah asosiasi dan biro perjalanan haji telah mengembalikan uang terkait perkara dugaan korupsi penentuan kuota haji. Total pengembalian dana disebut mendekati Rp100 miliar, menandakan besarnya potensi kerugian negara dalam kasus ini.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers pada Senin (6/10/2025). Ia menegaskan bahwa pengembalian dana ini menjadi bagian dari upaya penyidik untuk memulihkan kerugian negara secara maksimal. “Secara keseluruhan kalau ratusan miliar mungkin belum, tapi kalau puluhan miliar sudah mendekati seratus ada,” ujarnya.
Setyo menambahkan, penyidik akan terus menelusuri aliran dana dan aset yang terkait dengan kasus korupsi kuota haji. KPK berkomitmen mengejar semua pihak yang terlibat, baik individu maupun korporasi, guna memastikan pengembalian kerugian negara secara optimal.
“Pasti akan kita kejar semaksimal mungkin selama memang terinformasi bahwa ada aset, baik aset bergerak maupun tidak bergerak, yang merupakan bagian dari perkara tersebut,” tegasnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa fokus KPK tidak hanya pada penindakan pidana, tetapi juga pada pemulihan keuangan negara.
Dalam kesempatan yang sama, Setyo juga menjawab pertanyaan mengenai belum diumumkannya nama tersangka dalam kasus ini. Ia menegaskan bahwa proses penetapan tersangka tinggal menunggu kelengkapan berkas penyidikan. “Ah itu kan relatif soal masalah waktu aja ya, saya yakin mungkin penyidik masih ada yang diperlukan untuk melengkapi pemberkasannya atau proses penyidikannya, masalah lain enggak ada kok,” ujarnya.
Kasus dugaan korupsi kuota haji ini telah resmi naik ke tahap penyidikan. Sebelumnya, perkara ini masih berada di tahap penyelidikan. Perkembangan ini menunjukkan bahwa KPK telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran hukum dalam penyelenggaraan haji tahun 2023–2024.
Kasus ini bermula dari kebijakan pengelolaan kuota haji Indonesia tahun 2023. Saat itu, Indonesia memperoleh tambahan kuota sebesar 20.000 jemaah dari Pemerintah Arab Saudi. Sesuai ketentuan Undang-Undang, pembagian kuota haji diatur dengan proporsi 92 persen untuk jemaah reguler dan 8 persen untuk jemaah haji khusus.
Namun, hasil penyelidikan KPK menemukan indikasi pelanggaran serius terhadap ketentuan tersebut. Pembagian kuota tidak mengikuti aturan, bahkan diduga dilakukan secara tidak proporsional: 50 persen untuk haji reguler dan 50 persen untuk haji khusus. Skema ini membuka celah penyimpangan besar dalam penetapan peserta haji khusus yang dikelola oleh biro perjalanan dan asosiasi tertentu.
KPK menduga telah terjadi perbuatan melawan hukum dalam proses distribusi kuota tersebut. Dugaan itu diperkuat dengan adanya pengembalian uang dalam jumlah besar dari pihak-pihak yang diduga menerima manfaat dari mekanisme distribusi kuota haji khusus.
Selain itu, lembaga antikorupsi ini juga tengah mendalami kemungkinan aliran dana ilegal yang terkait dengan penambahan kuota haji khusus. Penelusuran ini dilakukan melalui audit keuangan, pelacakan rekening, dan pemeriksaan sejumlah pihak yang memiliki peran dalam proses pengalokasian kuota.
Para pengamat menilai, kasus ini menjadi salah satu bentuk penyimpangan sistemik dalam penyelenggaraan ibadah haji yang dikelola negara. Penambahan kuota seharusnya digunakan untuk mengurangi daftar tunggu jemaah reguler yang semakin panjang, bukan justru dimanfaatkan secara tidak proporsional oleh pihak tertentu.
KPK menegaskan bahwa proses hukum akan terus berjalan sesuai prosedur. Penetapan tersangka tinggal menunggu waktu setelah semua dokumen dan bukti pelengkap rampung. Lembaga ini juga mengimbau masyarakat untuk memberikan informasi apabila mengetahui keberadaan aset atau dana yang terkait kasus tersebut.
Kasus ini sekaligus menjadi ujian transparansi pengelolaan dana dan kuota haji di Indonesia. Selama ini, mekanisme distribusi kuota sering kali menjadi sorotan publik karena dianggap tidak merata dan rawan penyimpangan.
Dengan jumlah pengembalian uang yang hampir mencapai Rp100 miliar, kasus ini menunjukkan besarnya potensi kerugian negara akibat praktik korupsi dalam sektor keagamaan. Padahal, dana dan kuota tersebut seharusnya digunakan untuk kepentingan umat secara adil dan akuntabel.
Para pengamat menilai langkah KPK dalam menelusuri aliran dana dan mengejar pengembalian kerugian negara merupakan langkah penting. Namun, mereka juga mengingatkan agar proses hukum tidak berhenti pada pengembalian uang saja, tetapi juga harus mengungkap struktur dan jaringan korupsi yang terlibat.
Transparansi dalam penetapan tersangka menjadi hal penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum. Keterbukaan informasi dan langkah tegas terhadap pelaku korupsi diharapkan dapat memperbaiki tata kelola haji ke depan.
KPK juga diharapkan dapat bekerja sama dengan Kementerian Agama dan lembaga terkait untuk memperkuat mekanisme pengawasan kuota haji agar kasus serupa tidak terulang. Sistem digitalisasi data dan pelaporan terbuka bisa menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan akuntabilitas.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana isu keagamaan yang menyangkut kepentingan publik luas pun tidak lepas dari potensi penyimpangan korupsi. Oleh sebab itu, penegakan hukum yang transparan dan menyeluruh menjadi kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.// Tayo